Senin, 24 Oktober 2016

Pencurhat atau Penulis?





Saturday night alias malam horror. #eh maaf. Maksud saya malam minggu. Jangan marah ya wahai para jomblo. Kita masih senasib. Heheheh Ok, cukup BaPernya.

Malam minggu kemarin saya akhirnya bisa bertemu dengan teman sekamar saya (dia pria) sewaktu tiga bulan tinggal di hotel. #eeh 3 bulan bersama pria di hotel? Jangan berprasangka buruk dulu. Yang belum baca kisahnya silahkan : klik disini   .

Bagi yang tidak berpikiran negative silahkan lanjut membaca. Jika masih ada pikiran yang aneh-aneh silahkan baca dulu tulisan dalam link di atas. Teman kamar saya itu bernama Badai Biru (read: Faqih Bobotoh Sejati). Maklumlah dia sepertinya lebih tergila-gila dengan PERSIB dibanding Sriwijaya FC. Ya iyah lah, orang dia Pria Sunda Tulen. Ahhaha #HidupSriwijaya #HidupPERSIB.


Saya mendapatkan sedikit inspirasi dari kata-kata beliau dikala malam minggu dibawah naungan atap Café Panas Dalam yang melindungi kami dari butiran hujan. Cah ileh , kayak romantis saja, kisah sesungguhnya akan membuat pilu loh. Tapi saya skip bagian itu.

Berhubung orang ini suka membaca dan menulis juga, otomatis inspirasinya tidak jauh dari dua hal ini. Saya mengomentari tulisan dia yang begitu dalam menyentuh perasaan (wkakakak) padahal dia mengaku tulisan itu tidak dibuat berdasarkan perasaan yang dialaminya saat menulis. Jawaban dia secara sederhana kurang lebih seperti ini:

Kalau gw nulis berdasarkan perasaan berarti gw belum jadi seorang penulis. Tapi, menjadi tukang curhat

Mungkin kalimatnya tidak sama persis, tapi esensinya tetap begitu kok. Kalimat dia sederhana. Namun, membuat saya berpikir. Wah asem, saya masih jadi tukang curhat sepertinya. hehehe Maklum, banyak tulisan masih berdasarkan rasa yang ada di hati.

Secara professional kalimat itu ada benarnya. Dan memang masuk dinalar. Untuk penulis professional yang memang mengandalkan kreatifitas di kepalanya, tidak peduli suasana hatinya apakah sedang gundah-gelisah atau bahagia. Tulisannya tetap mampu membuat pembaca hanyut kedalam alur tulisan.

Ya, seperti itulah sebagian penulis besar dunia.

Tapi, bagi saya yang belum menjadi penulis besar (siapa tahu kesampaian- tapi tetap saya lebih ingin menjadi pria besar yang mengisi hati “dia” kok, hehehe). Menjadi penulis atau pencurhat tidak jadi masalah. Soalnya begini. Tulisan yang masih memperlihatkan ekspresi hati kita, atau pun memang tulisan itu adalah curahan hati kita tetap masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Lihatlah tulisan-tulisan yang berasal dari kegelisahan hati penulisnya yang mampu mengubah lingkungan sekitar. Contohnya tulisan seputar kesetaraan hak memperoleh pendidikan untuk wanita oleh R.A Kartini yang akhirnya berkontribusi kapada pendidikan di Indonesia. Ataupun para pelaku standup comedy yang banyak menulis kegelisahan mereka kemudian menghibur diatas panggung sambil berdiri (standup) hehehe.

Kalimat sahabat saya yang satu ini tidak salah. Namun, untuk kita yang sedang belajar. Tidak perlu takut untuk menjadi pencurhat. Selama tulisan curhatan itu bisa bermanfaat bagi orang lain, kenapa tidak. Ya memang hitung-hitung latihan juga sih. Tapi, malam itu saya jadi sadar. Untuk menjadi professional suatu saat kita tetap harus mengkontrol rasa kita saat menulis. Seperti kita mengkontrol prilaku dihadapan dia yang kita kejar. #BaPer.

Untuk yang penasaran dengan tulisan sahabat saya silahkan ke http://faqihahmadmuzakky.blogspot.co.id/ . Tapi, awas jangan baper membacanya. Hahaha.


*sumber gambar: kitamuda.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar