Jumat, 25 Maret 2016

Surat Terbuka Untuk Calon Pemimpin Mahasiswa UNSRAT

Surat Terbuka Untuk Calon Pemimpin Mahasiswa UNSRAT

Aku ingat pada sesosok adik yang datang dengan suara lantang beserta dialeg ketimurannya. Masih polos dan bersemangat untuk membangun dirinnya. Hitam manis dengan tinggi semampai, badan tegap laksana pohon dalam hutan nan lebat. Suaranya menggelegar bak petir menandakan badai.


Dari Maluku dia datang dengan semangat membara. Dengan nada dan perawakannya, dia santun menyapa. Aku tau dia sadar ada segelintir orang yang menyindirnya, dari dialeg hingga perawakannya. Namun aku juga ingat tawa dan candanya menanggapi sindiran itu.

Oh duhai dinda, tahulah kau bahwa ada harapan yang kusisipkan dalam dikau beserta rekan-rekanmu. Bukan setelah lama kita bercengkramah, namun sejak aku melihat harapan itu ada di mata mu dan teman-temanmu. Manakalah aku tau kau masih mau menangis untuk orang-orang kau cinta.

Kau tau? Bukan akal dan fisik kalian yang membuatku menaruh harapan itu. Karena, pribadi yang menggunakan akalnya lebih dari kau dan teman-temanmu begitu banyak. Karena, pribadi yang modal fisiknya lebih dari kau dan teman-temanmu juga banyak.

Namun kau tau soal rasa? Sedikit orang yang masih mau mengolah rasanya dinda. Hari ini banyak orang yang mengesampingkan olah rasa, kemudian menjadi maniak atas olah akal dan fisiknya. Kau tau koruptor? Yakinlah akal mereka banyak yang diatas kita. Kau tau olaragawan? Yakinlah fisik mereka diatas kita.

Kau dulu begitu polos dan apa adanya, tak ada rahasia yang kau simpan atas dasar kepentingan.

Aku tergugah manakalah mendengar percakapan kau dan ayahmu. Begitu syahdu dalam nuansa rasa. Ia rasa.

Tangismu lebih penting dari akal dan fisikmu. Karena, aku tahu kau sudah punya akal dan fisik yang mumpuni.

Beberapa saat yang lalu aku mendapatkan informasi, kau akan membentangkan mimpi yang dulu pernah aku gaungkan. Ya, kau akan menuju kusi Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi. Itu berarti sekiranya kau terpilih, kau akan menjadi mahasiswa nomor DUA diantara sekitar 20.000-an mahasiswa yang ada.

Entahlah, seharusnya aku bangga akan hal itu. Namun, belakangan aku takut dinda.

Aku takut kau tak seperti dulu lagi. Aku takut kau tak lagi tulus. Aku takut kau laksana kertas putih yang sudah ditandai lipatannya.

Tak peduli mungkin kau pernah mencaciku, namun taulah “Kau dan teman-temanmu adalah harapan”. Ia, harapan atas sebuah rasa. Aku tak perlu mengatakan secara eksplisit apa rasa itu. Aku tahu kau tahu nilai yang sepatutnya diperjuangkan. Bukan egomu atau segelintir orang.

Namun aku takut kau tak lagi dihaluan atas sebuah nilai yang diperjuangkan.

Aku tahu akal mu mungkin kini lebih tinggi dari aku dan mungkin sebagian teman-temanmu. Aku tau fisikmu sekarang sudah layak menjadi pemimpin atas mereka yang namanya para “agen perubahan”.

Aku tahu sekarang kekuatan politik mu sudah lebih besar. Namun, aku sadar juga, tekananmu juga semakin besar.

Aku pernah gagal mengemban beberapa harapan yang dititpkan teman-temanku. Aku sudah merasakan bagaimana diri ini sering tak menepati janji. 

Kau tahu apa yang kurasakan sekarang?

Aku merasakan kaki ku semakin ringan menuju balasan atas keteledoran ku.

Kau tahu?

Aku semakin takut untuk mendapatkan balasan atas kesalahan ku pada teman-teman yang percaya pada ku.

Oh ia, aku beri tahu petunjuk atas sebuah rasa itu. Atas sebuah nilai yang seharusnya diperjuangkan. Rasa atau nilai itu bersangkutan atas KEDAMAIAN dinda. Rahmat bagi sekalian alam dinda. INGAT… Rahmat sekalian alam dinda.

Kau tau kan? Rahmat bagi sekalian alam dinda? Bukan rahmat atas kaum kecil kita. Bukan rahmat atas sebagian pendudung kekuatan politikmu.

Kau lebih pintar, kau lebih kuat saat ini diposisi kampus. Aku tak lagi bisa mengajarimu atas olah akal dan fisikmu. Penampilanmu sudah layak jadi pemimpin. Namun, aku tahu aku masih bisa mengajarimu sesuatu. Sesuatu itu adalah rasa. Rasa atas sebuah nilai yang harus kita jaga.

Teman-temanmu ada dibelakangmu. Walaupun aku tahu kau pernah mengabaikan mereka. Kau harus tahu mana yang setia dijalan ini. Jalan atas sebuah “kedamaian”.

Kau bisa bersama orang-orang yang tertawa canda tanpa batasan. Namun, ingatlah. Kau tetap butuh teman untuk menangis. Semoga matamu terbuka wahai calon wakil presiden kampus. Atas sebuah nilai yang pernah kau nikmati itu dulu.

Sengaja aku menuliskan jabatan dengan huruf kecil untuk menandakan kita ini kecil dinda.

Oh ia, pesaingmu, Aldi yang se-fakultas denganmu juga orang baik.

Kalau kau terpilih dan kau memperjuangkan nilai yang salah. Aku rasa kau akan merasakan ketakutan yang sama denganku. Bisa jadi aku akan menunggumu bercengkramah di NERAKA nan kelam.

Aku mendoakan agar kau kalah, jika kemenanganmu membawa nilai buruk.

Dan aku mendoakan agar kau menang, jika kemenanganmu bisa membawa rasa dan nilai kebenaran yang universal itu.

Tapi aku doakan kemenanganmu tidak terlalu besar, agar kau masih memiliki banyak pengkritik. Kemudian kau mendapatkan pahala selama jabatanmu.

Aku berharap kita bisa syahdu dalam SURGA yang dijanjikan.

Salam cinta atas sebuah rasa, untukmu Sahril Rumbaru-Calon Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi.

Bukan Kemangan Yang Terpenting, Tapi Berkahnya Jabatanmu. @WP
Bandung 25 Maret 2016
Sahril Rumbaru Merangkai Mimpinya

5 komentar:

  1. Dari kota kembang untuk kota tinutuan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagiku Manado lebih dari letak geografis, lebih dari itu, melibatkan perasaan,,, hahahaha #copy kata org.

      Hapus
    2. "Melibatkan perasaan", ini kata orang atau kata hati ? Hahaha

      Hapus
    3. "Melibatkan perasaan", ini kata orang atau kata hati ? Hahaha

      Hapus
    4. Kata hati manusia yang sedang membangun rasa, rasa untuk menghidupi kehidupan... :p

      Hapus